Senin, 04 Juni 2012

askep cedera kepala


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Sardjito, 2003). Cedera kepala merupakan salah satu  penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia  produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, dkk, 2000).

B.     Penyebab
1.      Kecelakaan lalu lintas
2.      Kecelakaan kerja
3.      Trauma pada olah raga
4.      Kejatuhan benda
5.      Luka tembak

C.    Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
1.      Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitif yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale).
2.      Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala dan pembuluh darah, papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus, muntah.

D.    Klasifikasi Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :

1.      Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

2.      Beratnya Cedera
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
·         Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13–15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
·         Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9–12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
·         Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.







Glascow Coma Scale (GCS)
No
Respon
Nilai
1.





2.






3.
Membuka Mata :
·         Spontan
·         Terhadap rangsangan suara
·         Terhadap nyeri
·         Tidak ada
Verbal :
·         Orientasi baik
·         Orientasi terganggu
·         Kata-kata tidak jelas
·         Suara tidak jelas
·         Tidak ada respon

Motorik :
·         Mampu bergerak
·         Melokalisasi nyeri
·         Fleksi menarik
·         Fleksi abnormal
·         Ekstensi
·         Tidak ada respon


4
3
2

1

5
4
3
2
1


6
5
4
3
2
1



3.      Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a.       Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
Ø  Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
Ø  Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
Ø  Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
Ø  Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b.      Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi lokal dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.
Termasuk lesi local :
Ø  Perdarahan Epidural
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di duramater pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala yang sering terjadi :
·         Penurunan tingkat kesadaran
·         Nyeri kepala
·         Muntah
·         Hemiparesis
·         Dilatasi Pupil Ipsilateral
·         Pernafasan dalam dan cepat kemudian dangkal irregulan
·         Penurunan nadi
·         Peningkatan suhu
Ø  Perdarahan Subdural
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdaspat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit.Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya :
·         Nyeri Kepala
·         Bingung
·         Mengantuk
·         Menarik diri
·         Berpikir lambat
·         Kejang
·         Udem Pupil
Ø  Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler, vena.
Tanda dan gejalanya :
·         Nyeri kepala
·         Penurunan kesadaran
·         Komplikasi pernafasan
·         Hemiplegia kontralateral
·         Dilatasi Pupi
·         Perubahan tanda-tanda vital
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik dan Cedera Aksona Difus (CAD).
1.      Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya  terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
2.      Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
3.      Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.  Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.
4.      Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.

E.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium
2.      X-Ray,  foto tengkorak 3 posisi untuk mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
3.      CT scan untuk mendeteksi fraktur, mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak
4.      Angiografi serebral untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

F.     Komplikasi
Perdarahan intra cranial
1.      Epidural
2.      Subdural
3.      kontraktur
4.      Epilepsi
5.      Parese saraf cranial
6.      Meningitis atau abses otak
Tindakan :
1.      Infeksi
2.      Perdarahan ulang
3.      Edema cerebri
4.      Pembengkakan otak

G.    Penatalaksanaan
Tindakan terhadap peningkatan TIK :
1.      Pemantauan TIK dengan ketat
2.      Oksigenasi adekuat
3.      Pemberian manitol
4.      Penggunaan steroid
5.      Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
6.      Bedah neuro
Tindakan pendukung lain :
1.      Dukung ventilasi
2.      Pencegahan kejang
3.      Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4.      Terapi antikonvulsan
5.      CPZ untuk menenangkan pasien
6.      NGT

BAB III
TINJAUAN KASUS

Asuhan Keperawatan
A.    Pengkajian
  1. Aktifitas/ Istirahat
Gejala : Letih, lelah, malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan keseimbangan. Sakit kepala yang hebat pada saat perunahan postur tubuh/ aktivitas. Keterbatasan akibat keadaan.
  1. Sirkulasi
Gejala : riwayat hipertensi
Tanda : Hipertensi. Denyutan vaskuler, misalnya daerah temporal. Pucat, wajah tampak kemerahan.
  1. Integritas Ego
Gejala : Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan, depresi. Peka rangsangan selama nyeri kepala. Faktor-faktor stress emosional/ lingkungan tertentu.
  1. Makanan/ cairan
Gejala : Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya kafein, coklat, daging, makanan berlemak. Mual/muntah, anoreksia. Penurunan berat badan
5.      Neurosensori
Gejala : Pusing, disorientasi, tidak mampu berkosentrasi. Riwayat cedera kepala yang baru terjadi, trauma, infeksi intracranial, Kraniotomy. Penurunan tingkat kesadaran.
Status mental : mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku. Perubahan visual, sensitive terhadap cahaya/ suara yang keras. Kelemahan progresif
Tanda :   Perubahan pola bicara/proses fakir. Mudah terangsang, peka terhadap stimulus. Penurunan reflektendon dalam. Papil edema
6.      Nyeri/ Kenyamanan
Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala :
Pascatraumatik : berat dan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau intermiten, setempat atau umum, intensitas beragam, diperburuk oleh gangguan emosional, perubnahan posisi tubuh.
Tanda : Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah. Respon emosional/ perilaku tak terarah, gelisah.
7.      Ventilasi
Pada cedera kepala tertutup disarankan untuk melalukukan hiperventilasi manual dengan memberikan oksigen
8.      Hiportermi
Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan penurunan darah serebral           

B.     Diagnosa Keperawatan
  1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d akumulasi cairan.
  2. Pola nafas tidak efektif b/d kerusakan pusat pernafasan di medulla oblongata.
  3. Perubahan perfusi jaringan serebral b/d hipoksia
  4.  Perubahan persepsi sensori b/d defisit neurologis
  5. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d peningkatan TIK

C.     Intervensi
No
Tujuan
Intervensi
Rasional
1.      ;







































2.       


























3.       














































































4.       







































5.       
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien dapat mempertahankan patensi nafas dengan KH :
a.       Bunyi nafas vaskuler
b.      Tidak ada sputum
c.       Masukan cairan adekuat















Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien mempunyai pola pernafasn yang efektif dengan KH :
a.       Pola nafas normal
b.      Tidak ada pernafasan cuping hidung
c.       Pergerakan dada simetris





Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien mempunyai perfusi jaringan adekuat dengan criteria hasil :
a.       Tingkat kesadaran normal
b.      TTV normal











































Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien mengalami perubahan persepsi sensori dengan KH :
a.       Tingkat kesadaran normal.
b.      Fungsi alat-alat indera baik
c.       Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, waktu dan tempat.











Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, nyeri berkurang terkendali  dengan KH :
a.       Pelaporan nyeri terkontrol
b.      Klien tenang, tidak geliah
c.       Klien dapat cukup istirahat
1.      Kaji kepatenan jalan nafas.





2.      Beri posisi semifowler



3.      Lakukan pengisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 menit. Catat sifat, warna dan bau secret.

4.      Berikan posisi miring atau telentang setiap dua jam.
5.      Pertahankan masukan cairan sesuai dengan kemampuan klien.
6.      Berikan bronkodilator IV dan aerosol sesuai indikasi.

1.   Pantau frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
2.   Tinggikan kepala tempat tidur sesuai indikasi.

3.   Anjurkan klien untuk bernafas dalam dan batuk efektif.
4.   Berikan terapi O2 tambahan.
5.   Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri.

1.      Kaji status neurologi b/d tanda-tanda peningkatan TIK terutama CGS






2.      Monitor TTV : TD, denyut nadi, suhu, menimal setiap jam sampai klien stabil.







3.      Tinggikan posisi kepala dengan sudut 15-45 derajat tanpa bantal dan posisi netral.






4.      Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian selimut dan kompres bila demam.


5.      Monitor asupan dan keluaran setiap delapan jam sekali.

6.      Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.



7.       Berikan obat-obat antiedema seperti manito, gliserol dan lasix sesuai indikasi





1.      Kaji  respon sensori terhadap panas atau dingin, raba atau sentuhan. Catat perubahan-perubahan yang terjadi.

2.      Kaji  persepsi klien, baik respon balik dan koneksi kemampuan klien berorientasi terhadap orang, waktu dan tempat.
3.      Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran.




4.      Berikan keamanan klien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari cedera.


1.      Tentukan  riwayat nyeri, lokasi, intensitas, keluhan atau durasi

2.      Monitor TTV



3.      Buat posisi kepala lebih tinggi

4.      Ajarkan latiahan teknik relaksasi seperti latihan nafas dalam

5.      Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan dari luas dan berikan tindakan yang menyenangkan seperti massase
6.      Kolaborasi dalam pemberikan obat analgetik sesuai indikasi
·         Ronkhi, mengi menunjukkan aktivitas sekret yang dapat menimbulkan penggunaan otot-otot asesoris dan meningkatkan kerja pernafasan.
·         Membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
·         Pengisapan, membersihkan jalan nafas dan akumulasi dari secret. Dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya iritasi saluran.
·         Posisi miring dapat membantu keluarnya secret dan mencegah aspirasi.
·         Membantu mengencerkan secret, meningkatkan pengeluaran secret.
·         Meningkatkan ventilasi dan membuang secret serta relaksasi otot halus.

·         Perubahan menandakan komplikasi  pada paru atau menandakan luasnya keterlibatan otak.
·         Untuk membantu ekspansi paru dan menurunkan  adanya kemungkinan lidah jatuh menutupi jalan nafas
·         Mencegah atau menurunkan atelektasis

·         Memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu dalam mencegah hipoksia.
·         Menentukan kecukupan pernafasan, keseimbangan asam basa.

·         Hasil dari pengkajian dapat diketahuai secara dini adanya tanda-tanda peningkatan TIK sehingga dapat menentukan arah tindakan selanjutnyaserta manfaat untuk menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
·         Dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda peningkatan TIK, misalnya hilangnya autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi selenral local nafas yang tidak teratur dapat menunjukkan lokasi adanya gangguan serebral.
·         Posisi kepala dengan sudut 15-45 derajat dari kaki akan meningkatkan dan memperlancaraliran balik vena kepala sehingga mengurangi kongesti cerebrum, dan mencegah penekanan pada syaraf medulla spinalis yang menambah TIK.
·         Demam menendakan adanya gangguan hipotalamus : peningkatan kebutuhan metabolic kan meningkatkan TIK.

·         Mencegah kelibahan cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga terjadi peningkatan TIK.
·         Mengurangi hipokremia yang dapat meningkatkan vasoditoksi cerebri, volume darah dan TIK.
·         Gliserol merupakan cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler. Lasix untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air yang berguna untuk mengurangi edema otak.

·         Informasi yang penting untuk keamanan klien, semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan kemampuan untuk menerima dan berespon sesuai stimulus.
·         Hasil pengkajian dapat menginformasikan susunan fungsi otak yang terkena dan membantu intervensi sempurna

·         Merangsang kembali kemampuan persepsi sensori. Gangguan persepsi sensori dan buruknya keseimbangan dapat meningkatkan resiko terjadinya injuri.
·         Pendekatan antara disiplin dapat mencipatkan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang berfokus evaluasi,dan fungsi fisik, kognitif dan keterampilan.
·         Mengetahui tingkat cedera dan menentukan pilihan intervensi, implementasi dan evaluasi terapi
·         Agar mengetahui perubahan yang terjadi pada pemeriksaan TD, nadi, pernafasan dan suhu
·         Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri
·         Untuk mengurangi rasa nyeri dan memfokuskan perhatian pasien

·         Memberikan kenyamanan pasien terhadap nyeri tersebut


·         Mengurangi rasa nyeri dan membantu keadaan pasien