BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Cedera
Kepala
Cedera kepala adalah serangkaian kejadian
patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat
melibatkan kulit kepala, tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Sardjito,
2003).
Cedera kepala merupakan
salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia
produktif dan sebagian besar terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, dkk, 2000).
B.
Penyebab
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan kerja
3. Trauma pada olah raga
4. Kejatuhan benda
5. Luka tembak
C.
Manifestasi
Klinis
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala.
1. Perubahan kesadaran
adalah merupakan indikator yang paling sensitif yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (
Glascow Coma Scale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik
seperti : nyeri kepala dan pembuluh darah, papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus, muntah.
D.
Klasifikasi
Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan
berat ringannya gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa
klasifikasi yang dipakai dalam menentukan derajat
cedera kepala.
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek, secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan :
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi
atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda
tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow Coma
Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara
kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera kepala.
·
Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13–15, dapat
terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada
fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
·
Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9–12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
·
Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi
atau hematoma intracranial.
Glascow Coma
Scale (GCS)
No
|
Respon
|
Nilai
|
1.
2.
3.
|
Membuka Mata :
·
Spontan
·
Terhadap rangsangan suara
·
Terhadap nyeri
·
Tidak ada
Verbal :
·
Orientasi baik
·
Orientasi terganggu
·
Kata-kata tidak jelas
·
Suara tidak jelas
·
Tidak ada respon
Motorik :
·
Mampu bergerak
·
Melokalisasi nyeri
·
Fleksi menarik
·
Fleksi abnormal
·
Ekstensi
·
Tidak ada respon
|
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
|
3. Morfologi Cedera
Secara Morfologi
cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur kranium
Fraktur kranium
dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
merupakan pemeriksaan CT Scan untuk
memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut
antara lain :
Ø Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
Ø Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
Ø Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea)
Ø Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum
bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang
kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi lokal dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
sering terjadi bersamaan.
Termasuk lesi local :
Ø Perdarahan Epidural
Terdapat pengumpulan darah diantara
tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang
arteri meningeal media yang terdapat di duramater pembuluh darah ini tidak
dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa
jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala yang sering terjadi :
·
Penurunan tingkat kesadaran
·
Nyeri kepala
·
Muntah
·
Hemiparesis
·
Dilatasi Pupil Ipsilateral
·
Pernafasan dalam dan cepat kemudian
dangkal irregulan
·
Penurunan nadi
·
Peningkatan suhu
Ø Perdarahan Subdural
Terkumpulnya darah antara duramater
dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdaspat diantara duramater,
perdarahan lambat dan sedikit.Periode akut terjadi dalam 48 jam – 2 hari atau 2
minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya :
·
Nyeri Kepala
·
Bingung
·
Mengantuk
·
Menarik diri
·
Berpikir lambat
·
Kejang
·
Udem Pupil
Ø Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Berupa perdarahan di jaringan otak
karena pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler, vena.
Tanda dan gejalanya :
·
Nyeri kepala
·
Penurunan kesadaran
·
Komplikasi pernafasan
·
Hemiplegia kontralateral
·
Dilatasi Pupi
·
Perubahan tanda-tanda vital
Cedera otak difus
umumnya menunjukkan gambaran CT Scan
yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan
dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka
cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik
dan Cedera Aksona Difus (CAD).
1. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau
temporopariental akibat pecahnya arteri meningea
media (Sudiharto
1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas
gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan
kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala
neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari
sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran,
nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri
perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
2. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural(
kira-kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural.
3. Kontusio dan perdarahan intracerebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,
walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum.
Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam
mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan
neurologist lebih lanjut.
4. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi
pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak
terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam
berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali
tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan
bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan
amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah
cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini
selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali
dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik
pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat
timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya
: kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita
mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh
suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan koma
yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan
gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan
cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala
disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera batang otak primer.
E.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
2. X-Ray,
foto tengkorak 3 posisi
untuk mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
3. CT scan
untuk mendeteksi fraktur, mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak
4. Angiografi serebral
untuk menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak
akibat edema, perdarahan, trauma.
F.
Komplikasi
Perdarahan intra cranial
1. Epidural
2. Subdural
3. kontraktur
4. Epilepsi
5. Parese saraf cranial
6. Meningitis atau abses otak
Tindakan :
1. Infeksi
2. Perdarahan ulang
3. Edema cerebri
4. Pembengkakan otak
G.
Penatalaksanaan
Tindakan terhadap peningkatan TIK
:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
6. Bedah neuro
Tindakan
pendukung lain :
1. Dukung ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan
keseimbangan nutrisi
4. Terapi antikonvulsan
5. CPZ untuk menenangkan pasien
6. NGT
BAB
III
TINJAUAN
KASUS
Asuhan
Keperawatan
A. Pengkajian
- Aktifitas/ Istirahat
Gejala : Letih, lelah, malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan
keseimbangan. Sakit kepala yang hebat pada saat perunahan postur tubuh/
aktivitas. Keterbatasan akibat keadaan.
- Sirkulasi
Gejala : riwayat
hipertensi
Tanda
: Hipertensi. Denyutan vaskuler, misalnya daerah temporal. Pucat, wajah tampak
kemerahan.
- Integritas Ego
Gejala
: Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan, depresi. Peka rangsangan selama nyeri kepala.
Faktor-faktor stress emosional/ lingkungan tertentu.
- Makanan/ cairan
Gejala
: Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya kafein, coklat,
daging, makanan berlemak. Mual/muntah, anoreksia. Penurunan berat badan
5. Neurosensori
Gejala
: Pusing, disorientasi, tidak mampu berkosentrasi. Riwayat cedera kepala yang
baru terjadi, trauma, infeksi intracranial, Kraniotomy. Penurunan tingkat
kesadaran.
Status
mental : mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku. Perubahan visual,
sensitive terhadap cahaya/ suara yang keras. Kelemahan progresif
Tanda
: Perubahan pola bicara/proses fakir. Mudah terangsang, peka terhadap stimulus. Penurunan
reflektendon dalam. Papil edema
6. Nyeri/
Kenyamanan
Karakteristik
tergantung pada jenis sakit kepala :
Pascatraumatik
: berat dan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau intermiten, setempat atau
umum, intensitas beragam, diperburuk oleh gangguan emosional, perubnahan posisi
tubuh.
Tanda : Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah. Respon
emosional/ perilaku tak terarah, gelisah.
7. Ventilasi
Pada cedera kepala
tertutup disarankan untuk melalukukan hiperventilasi manual dengan memberikan
oksigen
8. Hiportermi
Penurunan
laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan penurunan darah serebral
B. Diagnosa
Keperawatan
- Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d akumulasi cairan.
- Pola nafas tidak efektif b/d kerusakan pusat pernafasan di medulla oblongata.
- Perubahan perfusi jaringan serebral b/d hipoksia
- Perubahan persepsi sensori b/d defisit neurologis
- Gangguan rasa nyaman nyeri b/d peningkatan TIK
C. Intervensi
No
|
Tujuan
|
Intervensi
|
Rasional
|
1. ;
2.
3.
4.
5.
|
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien dapat
mempertahankan patensi nafas dengan KH :
a. Bunyi
nafas vaskuler
b. Tidak
ada sputum
c. Masukan
cairan adekuat
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien mempunyai pola
pernafasn yang efektif dengan KH :
a. Pola
nafas normal
b. Tidak
ada pernafasan cuping hidung
c. Pergerakan
dada simetris
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien mempunyai
perfusi jaringan adekuat dengan criteria hasil :
a. Tingkat
kesadaran normal
b. TTV
normal
Setelah
dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan klien mengalami perubahan
persepsi sensori dengan KH :
a. Tingkat
kesadaran normal.
b. Fungsi
alat-alat indera baik
c. Klien
kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, waktu dan tempat.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam, nyeri berkurang terkendali
dengan KH :
a. Pelaporan
nyeri terkontrol
b. Klien
tenang, tidak geliah
c. Klien
dapat cukup istirahat
|
1. Kaji
kepatenan jalan nafas.
2. Beri
posisi semifowler
3. Lakukan
pengisapan lendir dengan hati-hati selama 10-15 menit. Catat sifat, warna dan
bau secret.
4. Berikan
posisi miring atau telentang setiap dua jam.
5. Pertahankan
masukan cairan sesuai dengan kemampuan klien.
6. Berikan
bronkodilator IV dan aerosol sesuai indikasi.
1. Pantau
frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
2. Tinggikan
kepala tempat tidur sesuai indikasi.
3. Anjurkan
klien untuk bernafas dalam dan batuk efektif.
4. Berikan
terapi O2 tambahan.
5. Pantau
analisa gas darah, tekanan oksimetri.
1. Kaji
status neurologi b/d tanda-tanda peningkatan TIK terutama CGS
2. Monitor
TTV : TD, denyut nadi, suhu, menimal setiap jam sampai klien stabil.
3. Tinggikan
posisi kepala dengan sudut 15-45 derajat tanpa bantal dan posisi netral.
4. Monitor
suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi. Batasi pemakaian selimut dan
kompres bila demam.
5. Monitor
asupan dan keluaran setiap delapan jam sekali.
6. Berikan
O2 tambahan sesuai indikasi.
7. Berikan obat-obat antiedema seperti manito,
gliserol dan lasix sesuai indikasi
1. Kaji respon sensori terhadap panas atau dingin,
raba atau sentuhan. Catat perubahan-perubahan yang terjadi.
2. Kaji persepsi klien, baik respon balik dan
koneksi kemampuan klien berorientasi terhadap orang, waktu dan tempat.
3. Berikan
stimulus yang berarti saat penurunan kesadaran.
4. Berikan
keamanan klien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bantu latihan jalan dan
lindungi dari cedera.
1. Tentukan riwayat nyeri, lokasi, intensitas, keluhan
atau durasi
2. Monitor
TTV
3. Buat
posisi kepala lebih tinggi
4. Ajarkan
latiahan teknik relaksasi seperti latihan nafas dalam
5. Kurangi
stimulus yang tidak menyenangkan dari luas dan berikan tindakan yang
menyenangkan seperti massase
6. Kolaborasi
dalam pemberikan obat analgetik sesuai indikasi
|
·
Ronkhi, mengi
menunjukkan aktivitas sekret yang dapat menimbulkan penggunaan otot-otot
asesoris dan meningkatkan kerja pernafasan.
·
Membantu
memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
·
Pengisapan,
membersihkan jalan nafas dan akumulasi dari secret. Dilakukan dengan
hati-hati untuk menghindari terjadinya iritasi saluran.
·
Posisi miring dapat
membantu keluarnya secret dan mencegah aspirasi.
·
Membantu mengencerkan
secret, meningkatkan pengeluaran secret.
·
Meningkatkan
ventilasi dan membuang secret serta relaksasi otot halus.
·
Perubahan menandakan
komplikasi pada paru atau menandakan
luasnya keterlibatan otak.
·
Untuk membantu
ekspansi paru dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh menutupi jalan nafas
·
Mencegah atau
menurunkan atelektasis
·
Memaksimalkan O2
pada darah arteri dan membantu dalam mencegah hipoksia.
·
Menentukan kecukupan
pernafasan, keseimbangan asam basa.
·
Hasil dari pengkajian
dapat diketahuai secara dini adanya tanda-tanda peningkatan TIK sehingga
dapat menentukan arah tindakan selanjutnyaserta manfaat untuk menentukan
lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
·
Dapat mendeteksi
secara dini tanda-tanda peningkatan TIK, misalnya hilangnya autoregulasi
dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi selenral local nafas yang tidak
teratur dapat menunjukkan lokasi adanya gangguan serebral.
·
Posisi kepala dengan
sudut 15-45 derajat dari kaki akan meningkatkan dan memperlancaraliran balik
vena kepala sehingga mengurangi kongesti cerebrum, dan mencegah penekanan
pada syaraf medulla spinalis yang menambah TIK.
·
Demam menendakan
adanya gangguan hipotalamus : peningkatan kebutuhan metabolic kan
meningkatkan TIK.
·
Mencegah kelibahan
cairan yang dapat menambah edema serebri sehingga terjadi peningkatan TIK.
·
Mengurangi hipokremia
yang dapat meningkatkan vasoditoksi cerebri, volume darah dan TIK.
·
Gliserol merupakan
cairan hipertonis yang berguna untuk menarik cairan dari intraseluler. Lasix
untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air yang berguna untuk mengurangi
edema otak.
·
Informasi yang
penting untuk keamanan klien, semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan
adanya perubahan yang melibatkan kemampuan untuk menerima dan berespon sesuai
stimulus.
·
Hasil pengkajian
dapat menginformasikan susunan fungsi otak yang terkena dan membantu
intervensi sempurna
·
Merangsang kembali
kemampuan persepsi sensori. Gangguan persepsi sensori dan buruknya
keseimbangan dapat meningkatkan resiko terjadinya injuri.
·
Pendekatan antara
disiplin dapat mencipatkan rencana penatalaksanaan terintegrasi yang berfokus
evaluasi,dan fungsi fisik, kognitif dan keterampilan.
·
Mengetahui tingkat
cedera dan menentukan pilihan intervensi, implementasi dan evaluasi terapi
·
Agar mengetahui
perubahan yang terjadi pada pemeriksaan TD, nadi, pernafasan dan suhu
·
Menurunkan gerakan
yang dapat meningkatkan nyeri
·
Untuk mengurangi rasa
nyeri dan memfokuskan perhatian pasien
·
Memberikan kenyamanan
pasien terhadap nyeri tersebut
·
Mengurangi rasa nyeri
dan membantu keadaan pasien
|